Sabtu, 04 Juni 2011

Orientalis dan Alqur'an

Perlunya Pembuktian Penyimpangan dalam Al-Qur'an

Dengan maksud hendak membuktikan moralitas dan superioritas teologi Barat, Bergtrasser, Jeffery, Mingana, Pretzl, Tisdal dan banyak lagi lainnya, telah mencurahkan seluruh kehidupannya guna menyingkap perubahan teks Al-Qur'an yang, katanya, tidak mereka dapatkan dalam kajian kitab Injil. Seperti tampak dalam bab sebelumnya, banyak sekali perbedaan yang memenuhi halaman-halaman dalam Kitab Injil, "Cette masse enorme depasse ce dont on dispose pour n'import quel texte antique; elle a fourni quelque 200,000 variantes. La plupart sont des variants insignifiantes... Deja Wescott et Hort, en donnant ce chiffre, constataient que les sept 6uitieme du texte etaient assures... Il y en a pourtant".1 Jika lihat secara keseluruhan, tampak melemahkan isu-isu penting dalam teologi dan menimbulkan keprihatinan mengenai adanya cerita-cerita palsu yang disisipkan ke dalam teks melalui pengaruh masyarakat umum. Sementara desakan untuk membuktikan keadaan yang sama terhadap Al-Qur'an mulai menggejala semenjak beberapa tahun lalu disebabkan oleh perubahan peta politik Timur Tengah, namun upaya-upaya dalam bidang ini kebanyakan telah dimulai lebih awal dari perhatian mereka. Di antara karya-karya sebagaimana sejarah telah mencatat:

  1. A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-'Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914;

  2. G. Bergtrasser, "Plan eines Apparatus Criticus zum Koran", Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7;

  3. O. Pretzl, "Die Fortfuhrung des Apparatus ('riticus zum Koran", Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan

  4. A. Jeffery, The Qur'an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.

Jeffery barangkali yang paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini.

2. Kritikan Orientalis Terhadap Kompilasi AI-Qur'an

Tampaknya terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan sebagai alat penyerang terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah menghujat tentang penulisan serta kompilasinya.2 Dengan semangat ini pihak Orientalis mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur'an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad `Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah, memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka.3 Lebih jauh lagi, mengapa bahan­bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.

Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka. Katakanlah terdapat satu naskah Al-Qur'an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan tecermin dalam naskah di kemudian hari. Dalam masa[ah ini, beliau akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang merugikan umatnya; kerugian yang ada dirasa lebih besar dari manfaatnya. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Sebelumnya, telah saya kemukakan bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid mesli bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan nilai teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin Thabit. Dalam mendikte ayat-ayat Al-Qur'an kepada para Sahabat, Nabi Muhamtnad , melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang lebih tepercaya didasarkan pada hubungan antara guru dengan murid; sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.4

Tetapi jika keseluruhan Al-Qur'an telah direkam melalui tulisan semasa kehidupan Nabi Muhammad dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur' an karena syahidnya para huffaz? Hal ini, sekali lagi, menyangkut tentang hukum persaksian.

Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur'an mela]ui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi Muhammad Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas yang juga saling beruntun; kematian mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad , yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi otoritas kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali, karena pemiliknya sudah masuk ke liang lahat dan tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya. Kendati mungkin terdapat secercah bahan tulisan yang secara tak sengaja persis sama dengan Al-Qur'an seperti yang dihafal oleh yang lain, selama masih terdapat saksi utama yang sesuai, ia akan menjadi paling tinggi, menempati urutan ke tiga dari dokumen yang sah. Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad (kita temukan hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Uthman). Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah Yamamah itu mengisap darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas saksi yang merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.

3. Perubahan Istilah Islam pada Pemakaian Ungkapan Asing

Pintu gerbang kedua masuknya serangan terhadap Al-Qur'an adalah melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan orang Barat. Dalam karyanya Introduction to Islamic Law, Schacht membagi fiqih Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain.5 Susunan seperti ini sengaja diperkenalkan hendak mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topic bahasan serta pembagi­annya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur'an dengan membagi Quranic Studies menurut ketentuan berikut: Prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory).6

Tafsir-tafsir seperti ini menghabiskan lebih dari separuh buku yang ditulis di mana jika saya bertanya pada para ilmuwan Muslim baik dari Timur mau pun yang berlatar belakang pendidikan Barat, tak akan mampu memahami semua daftar isi buku tersebut. Barangkali hanya seorang pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama, namun hal ini akan sama nilainya seperti seorang pendeta memaksakan baju tradisi mereka pada seorang sheikh. Mengapa mereka begitu bergairah mengubah istilah Islam, di mana tujuannya tak lain hendak memaksakan sesuatu yang di luar jangkauan bidang para ilmuwan Muslim, guna menunjukkan bahwa hukum mereka bersumber dari Yahudi dan Kristen?

4. Tuduhan Orientalis terhadap Penyesusian

Hal ini akan menggiring memasuki pintu gerbang ketiga dalam menyerang terhadap Al-Qur'an: perulangan tuduhan yang ditujukan kepada Islam hanya merupakan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen, atau bagian dari sikap curang dalam memanfaatkan literatur Kitab Suci untuk kepentingan sendiri. Wanshrough, sebagai seorang penggagas tak tergoyahkan dalarn pemikiran ini tetap ngotot, misalnya, ia menyatakan, "Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad, dihangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi."7 Disini, kita hendak rnengkaji rasa sentimen ke dua orang ilmuwan tersebut yang menulis menggunakan alur pemikiran yang senada.

i. Tuduhan dan Penyesuaian Kata yang Merusakkan

Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam Al-Qur'an karena, kata­nya, "kejahilan Muhammad" tentang sejarah awal agama Yahudi - kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang la curi dari sumber-sumber Yahudi.8 Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:

[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir'aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih.... [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).9

Ini merupakan satu upaya yang menyedihkan hendak mengubah wajah Islam menggunakan istilah orang lain, siapa orangnya yang menyebut bahwa Fir'aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu? Dalam kebohongannya Noldeke tidak malu menunjuk bahwa Al-Qur'an menyebut Maryam (Ibu al­Masih) sebagai "saudara perempuan Harun",10 bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan orang-orang bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth, saudara sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga pendeta, lantaran itu merupakan "anak-anak perempuan Harun."11 Dengan kepanjangan itu, kita dapat secara meyakinkan mengatakan baik Maryam atau Elizabeth sebagai "saudara-saudara perempuan Harun" atau "anak-anak perempuan `Imran" (ayah Harun).12

Apakah tuduhan Noldeke mengenai kesuburan negeri Mesir? Membanjirnya Sungai Nil adalah karena di sebagian daerah, sumber utama, karena adanya perbedaan curah hujan, seperti telah dibuktikan para pakar lingkungan, namun demikian mari kita singkirkan terlebih dulu akan hal ini dan lihatlah ayat 12: 49 yang mengatakan:






"Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia akan diselamatkan, dan di masa itu mereka memeras anggur. "

Saya serahkan kepada para pembaca meneliti sendiri ada atau tidaknya penyebutan kata hujan pada ayat itu, sebenarnya tuduhan seperti itu muncul dari kekalutan pikiran Noldeke terhadap kata benda "hujan" dan "pengucapannya".

ii. Sebuah Injil Palsu

Ini satu tuduhan lagi yang dialamatkan terhadap Al-Qur'an oleh Hirschfeld.13 Jika kata Injil ditujukan pada Perjanjian Baru, mari kita ingat kembali dua doktrin utama dalam agama Kristen: Dosa Warisan dan Penebusannya. Yang pertama adalah warisan otomatis yang ada pada setiap insan, karena mereka keturunan Adam, sedang yang ke dua karena terbentuknya kepercayaan bahwa Tuhan telah mengorbankan satu-satunya Anak yang lahir ke dunia sebagai penghapus dosa. Tetapi Al-Qur'an dengan tegas menolak kedua-duanya:







"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima tobatnya. "14

"Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."15

Trinitas dan penyelamatan melalui al-Masih, sebagai esensi ajaran Kristen, tidak diberi peluang sama sekali dalam Al-Qur'an, sementara cerita­cerita Injil yang ada tidak lebih dari sekadar masalah kesejarahan, bukan keyakinan ideologi.

"Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia. "16

Jadi, sebenarnya di manakah asal usul pemalsuan itu? Adapun mengenai penyesuaian dari Perjanjian Lama (sebagaimana dituduhkan oleh Wansbrough, Noldeke, dan lainnya), apa perlunya Nabi Muhammad mengungkapkan satu Kitab Suci yang menggambarkan Yahweh sebagai Tuhan yang bersifat kesukuan, bahkan tidak dihubungkan dengan kaum Samaritan dan kaum Edomit, tetapi semata-mata pada Bani Israel? Sejak awal pembukaan kitab, kita dapati Al-Qur'an mengatakan:

"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. "17

Ini merupakan sebutan universal sifat Allah, yang melintasi batas kesukuan dan bangsa berlandaskan pada ketentuan keimanan. Seseorang tentunya tidak akan dapat menempel buah mangga yang gemuk atau subur pada satu cabang berduri dari sebatang pohon kaktus yang rapuh.

Penulis : Muhammad Khatib
Ukuran : 15 cm x 21,5 cm
Tebal : 240 hal
Harga : Rp. 15.500,-
ISBN/KDT: 978-602-8446-26-6

Pada hakikatnya kematian itu sebuah peristiwa terpisahnya ruh dari jasad. Ruh tidak lagi efektif menjalankan fungsinya untuk menggerakkan tubuh. Begitu pula tubuh tidak lagi patuh terhadap perintah ruh. Sebab jasad hanyalah sebuah wadah ruh, maka ketika ruh terlepas, jasad kehilangan fungsinya. Ruh sendiri tidak diketahui eksistensinya. Tapi ada perbedaan antar ruh dan jasad. Jika jasad ditinggalkan ruh, maka jasad menjadi mati dan selamanya menjadi benda tak berarti. Sementara ruh, meskipun ditinggalkan jasad, ia tetap hidup kekal. Sesungguhnya esensi kehidupan terletak pada ruh, bukan pada jasad.

Banyak di antara kita keliru dalam memahami hakikat kematian. Sebagian menduga, kematian adalah ketiadaan mutlak, tidak ada kehidupan lagi setelah kematian, tidak ada alam kubur, tidak ada kebangkitan dari kubur dan tidak ada kehidupan akhirat. Kematian manusia tak ubahnya seperti kematian hewan atau tumbuhan. Ini merupakan pendapat orang tak beriman.

Sebagian yang lain percaya jika alam kubur itu ada. Mereka mempunyai keyakinan bahwa di alam kubur tidak ada siksa dan tidak ada nikmat pahala. Sementara ada pula yang berpendapat, bahwa ruh itu kekal tidak akan musnah karena peristiwa kematian. Ruh itu akan merasakan siksa maupun nikmat pahala sedangkan jasad tidak ikut merasakannya sama sekali.

Pemahaman dan keyakinan tersebut menurut Imam Ghazali adalah salah dan jauh dari kebenaran. Banyak ayat al-Quran maupun hadis menjelaskan bahwa manusia diciptakan bukan untuk mati, tetapi untuk hidup. Adapun kematian yang dialami hanyalah sebuah proses perubahan keadaan semata; dari kehidupan dunia yang semu, fana dan serba terbatas, menjadi kehidupan yang nyata, kekal dan tanpa batas. Dengan kematian pula manusia akan dikembalikan ke asalnya untuk mendapatkan balasan sesuai dengan amal perbuatannya.


Jumat, 03 Juni 2011

man khotib: Pendidikan di era modern

man khotib: Pendidikan di era modern: ". TUJUAN P"

Pendidikan di era modern

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkembangan masyarakat dunia pada umumnya dan masyarakat Indonesia pada khususnya sudah memasuki masyarakat informasi yang merupakan kelanjutan dari masyarakat modern dengan ciri-cirinya yang bersifat rasional, berorientasi ke masa depan, terbuka, menghargai waktu, kreatif, mandiri dan inovatif. Sedangkan masyarakat informasi ditinjau oleh penguasaan terhadap teknologi informasi, mampu bersaing, serba ingin tahu, imajinatif, mampu mengubah tantangan menjadi peluang dan menguasai berbagai metode dalam memecahkan masalah.

Kehidupan modern selain berdimensi positif juga berdemensi negatif. Dimensi positif di antaranya semakin berkembangnya teknologi dalam berbagai bidang, komunikasi, perhubungan, antariksa, kedokteran dan sebagainya. Sebaliknya dimensi negatifnya juga berkembang pesat. Merosotnya nilai-nilai humanisme, semakin longgarnya nilai-nilai moral, kehidupan masyarakat yang semakin “individualistis”, mengejar kehidupan dan kemewahan duniawi dengan segala cara dan sebagainya. Dampak negatif kehidupan modern, berpengaruh sangat besar dalam kehidupan keluarga. Karena longgarnya nilai-nilai moral, akhlak dan agama di lingkungan keluarga, maka orang tua sebagai figur panutan anak-anaknya hilang kredibilitasnya, sehingga dalam keluarga tidak ada lagi yang patut menjadi figur panutan.

Pada masyarakat informasi peranan media elektronika sangat memegang peranan penting dan bahkan menentukan corak kehidupan. Pengguna teknologi seperti komputer, faximile, internet dan lain-lain telah mengubah lingkungan informasi dari lingkungan yang bercorak lokal dan nasional kepada lingkungan yang bersifat internasional, mendunia dan global. Pada era informasi, lewat komunikasi satelit dan komputer, orang tidak hanya memasuki lingkungan informasi dunia, tetapi juga sanggup mengolahnya dan mengemukakannya secara lisan, tulisan, bahkan secara visual.

Itulah gambaran masa depan yang akan terjadi, dan umat manusia mau tidak mau harus menghadapinya. Masa depan yang demikian itu selanjutnya akan mempengaruhi dunia pendidikan baik dari segi kelembagaan, materi pendidikan, guru, metode, sarana prasarana dan lain sebagainya. Hal ini pada gilirannya menjadi tantangan yang harus dijawab oleh dunia pendidikan, termasuk di dalamnya dunia pendidikan Islam.

Makalah ini akan mencoba mendeskripsikan kondisi dan situasi pendidikan Islam ketika berhadapan dengan realitas kehidupan dunia modern serta bagaimana seharusnya pendidikan Islam menjawab tantangan tersebut. Oleh karena itu, penulis merumuskan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini sabagai berikut:

B. RUMUSAN MASALAH:

1. Apa pengertian Pendidikan Islam?, dan bagaimana tantangannya?

2. Bagaimana sebenarnya kehidupan masyarakat modern dan moderinitas?

3. Bagaimana pendidikan mensikapi tantangan kehidupan modern?

C. TUJUAN PEMBAHASAN:

1. Agar memahami pendidikan Islam dan tantangannya

2. Mengetahui kondisi masyarakat modern

3. Mengetahui bagaimana mengsikapi dunia modern

D. MANFAAT:

Dengan memahami pendidikan islam dan tantangannya di era modern, maka akan bisa mengambil sikap, apa yang seharusnya dilakukan di dalam menghadapinya.





BAB II

PEMBAHASAN

1. PENDIDIKAN ISLAM DAN TANTANGANNYA

A. Pengertian Pendidikan dan Pendidikan Islam

Menurut Herman H. Horne sebagaimana dikutip pendapatnya oleh Muzayyin Arifin mengatakan bahwa pendidikan adalah suatu proses penyesuaian diri manusia secara timbal balik dengan alam sekitarnya, dengan manusia dan dengan tabiat tertinggi dari kosmos.
Menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah daya upaya untuk memajukan bertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelektual) dan tubuh anak.
Sedangkan pendidikan Islam lebih diarahkan kepada keseimbangan dan keserasian hidup manusia. Sebagaimana pendapat al-Syaibany yang menyatakan bahwa pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadi atau kehidupan masyarakat dan kehidupan alam sekitar melalui proses pendidikan. Perubahan tersebut dilandasi oleh nilai-nilai Islam. Secara konseptual rumusan pengertian dan tujuan pendidikan di atas begitu ideal, dalam tataran praktis dan realitas pendidikan Islam masih banyak dihadapkan pada problematika serius yang memerlukan pemecahan untuk dapat merealisasikan tujuan tersebut.

B. Tantangan dan Problematika Pendidikan Islam

1. Sistem Pendekatan dan Orientasi

Di tengah gelombang krisis nilai-nilai kultural berkat pengaruh ilmu dan teknologi yang berdampak pada perubahan sosial, pendekatan pendidikan Islam yang memandang bahwa kebenaran Islam yang mutlak pasti mampu mengalahkan kebatilan yang merajalela di luar kehidupan Islam dengan dasar dalil: (jika telah datang perkara yang hak, maka hancurlah perkara yang batil) perlu dilakukan modifikasi/perubahan menjadi pendekatan yang berdasarkan atas pandangan yang realistis bahwa Islam sebagai suatu kebenaran baru mampu berkembang dengan sepenuhnya dalam masyarakat bila para pendukungnya berusaha keras dan tepat sasaran melalui sistem dan metode yang efektif dan efisien.

Pendidikan Islam masa kini dihadapkan kepada tantangan yang semakin berat. Tantangan tersebut berupa timbulnya aspirasi dan idealitas umat manusia yang serba multi-interest yang berdimensi nilai ganda dengan tuntutan hidup yang multi kompleks pula. kejiwaannya, maka semakin tidak mudah jiwa manusia itu diberi nafas agama. Secara riil pendidikan Islam masih menemukan kesulitan memenuhi tuntutan seperti itu. Orientasi pendidikan Islam seringkali masih kepada kehidupan ukhrawi. Ini mestinya dirubah menjadi duniawi-ukhrawi secara bersamaan. Orientasi ini menghendaki suatu rumusan tujuan pendidikan yang jelas karena itu program pembelajarannya harus diproyeksikan ke masa depan dari pada masa kini atau masa lampau. Meskipun masa lampau dan kini tetap dijadikan khasanah kekayaan empiris yang amat berharga bagi batu loncatan ke masa depan, sehingga nostalgia ke masa keemasan dunia Islam masa lampau (abad 7 s.d 14) tidak perlu lagi mengobsesi pemikiran kita. Lebih-lebih dalam menghadapi pergeseran nilai-nilai kultural yang transisional dari dunia kehidupan yang belum menemukan pemukiman yang mapan, maka pendidikan Islam dituntut untuk menerapkan pendekatan dan orientasi baru yang relevan dengan tuntutan zaman.

2. Pelembagaan proses kependidikan Islam.

Pendidikan Islam yang berlangsung melalui proses operasional menuju tujuannya memerlukan model dan sistem yang konsisten yang dapat mendukung nilai-nilai moral-spiritual yang melandasinya. Nilai-nilai tersebut diaktualisasikan berdasarkan orientasi kebutuhan perkembangan fitrah murid (learner’s potential orientation) yang dipadu dengan pengaruh lingkungan kultural yang ada. Oleh karena itu, manajemen kelembagaan pendidikan Islam memandang bahwa seluruh proses kependidikan Islam dalam institusi adalah sebagai suatu sistem yang berorientasi kepada perbuatan yang nyata (action-oriented system) berdasarkan atas pendekatan sistemik.

Dalam operasionalisasinya selalu mengacu dan tanggap kepada kebutuhan perkembangan masyarakat tanpa bersikap demikian, lembaga pendidikan Islam dapat menimbulkan kesenjangan sosial dan kultural. Kesenjangan inilah yang menjadi salah satu sumber konflik antara pendidikan dan masyarakat. Dari sanalah timbul krisis pendidikan yang intensitasnya berbeda-beda menurut tingkat atau taraf rising demand masyarakat.
Di samping itu pergeseran idealitas masyarakat yang menuju ke arah pola pikir rasional-teknologis yang cenderung melepaskan diri dari tradisionalisme kultural-edukatif makin membengkak.

Inilah sebagai pencerminan kemelut yang terjadi di dalam masyarakat. Namun demikian permasalahannya lembaga pendidikan Islam pada khususnya harus bangkit kesadarannya bahwa lembaga pendidikan Islam kita yang masih bersikap konservatif dan statis dalam menyerap tendensi dan aspirasi masyarakat transisional seperti masa kini, perlu memacu diri untuk melakukan inovasi dalam wawasan, strategi dan program-programnya sedemikian rupa sehingga mampu menjawab secara aktual dan fungsional terhadap tantangan baru. Apalagi bila diingat bahwa misi pendidikan Islam lebih berorientasi kepada nilai-nilai luhur dari Tuhan yang harus diinternalisasikan ke dalam lubuk hati tiap pribadi manusia melalui bidang-bidang kehidupan manusia, maka pendekatan sistemik yang bersifat missionair di mana faktor humanisasi menjadi sentral strategi, perlu lebih diprioritaskan dalam perencanaan.

3. Pengaruh sains dan teknologi canggih

Sebagaimana telah kita sadari bersama bahwa dampak positif dari kemajuan teknologi sampai kini, adalah bersifat fasilitatif (memudahkan) kehidupan manusia yang hidup sehari-hari sibuk dengan berbagai problema yang semakin mengemelut. Teknologi menawarkan berbagai macam kesantaian dan kesenangan yang semakin beragam, memasuki ruang-ruang dan celah-celah kehidupan kita sampai yang remang-remang dan bahkan yang gelap. Dampak-dampak negatif dari teknologi modern telah mulai menampakkan diri di depan mata kita, yang pada prinsipnya berkekuatan melemahkan daya mental-spiritual atau jiwa yang sedang tumbuh berkembang dalam berbagai bentuk penampilan dan gaya-gayanya. Tidak hanya nafsu mutmainnah yang dapat diperlemah oleh rangsangan negatif dari teknologi elektronis dan informatika melainkan juga fungsi-fungsi kejiwaan lainnya seperti kecerdasan fikiran, ingatan, kemauan dan perasaan (emosi) diperlemah kemampuan aktualnya dengan alat-alat teknologis-elektronis dan informatika seperti komputer, fotokopi jarak jauh (faximile), video cassett recorder (VCR) dan komoditi celluloid (film, video, disc), dan sebagainya. Dalam waktu dekat, anak didik kita tidak perlu lagi belajar bahasa asing atau ketrampilan tangan dan berfikir ilmiah taraf tinggi karena alat-alat teknologis telah mampu menggantikannya dengan komputer penerjemah semua bahasa asing, robot-robot telah siap mengerjakan tugas-tugas yang harus dikerjakan dengan tangan dan mesin otak (komputer generasi baru) yang mampu berfikir lebih cepat dari otak manusia sendiri, lalu bagaimana tentang proses menginternalisasikan dan menstransformasikan nilai-nilai iman dan takwa ke dalam lubuk hati manusia. Sampai saat ini kita belum mendengar adanya teknologi transformasi nilai-nilai spiritual itu. Bukan tidak mungkin selepas abad 20 nanti mesin itu akan diciptakan manusia.

2. KEHIDUPAN MASYARAKAT MODERN

A. Pengertian Kehidupan Modern dan Modernitas

Secara etimologis kata modern diartikan of the present or recent times, new; up to date, artinya modern berarti sekarang, saat ini atau baru. Makna umum dari perkataan modern adalah segala sesuatu yang bersangkutan dengan kehidupan masa kini. Lawan dari modern adalah kuno, yaitu segala sesuatu yang bersangkutan dengan masa lampau. Atas dasar inilah manusia dikatakan modern sejauh kekinian menjadi pola kesadarannya.
Pengertian modernitas berasal dari perkataan "modern” yaitu pandangan dan sikap hidup yang dianut untuk menghadapi masa kini. Kalau kita berbicara tentang masa kini, maka yang dimaksudkan adalah waktu sekarang dan masa depan.

Dalam masyarakat barat, modernisme mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi-institusi lama dan sebagainya, agar semua itu menjadi sesuai dengan pendapat-pendapat dan keadaan baru yang ditimbulkan oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Lahirnya modernisasi atau pembaharuan di suatu tempat akan selalu beriringan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang saat itu. Modernisasi atau pembaharuan bisa diartikan apa saja yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh penerima pembaharuan, meskipun bukan hal baru bagi orang lain. Pembaharuan ini biasanya dipergunakan sebagai proses untuk memperbaiki keadaan yang ada sebelumnya ke cara atau situasi dan kondisi yang lebih baik dari sebelumnya.

Menurut Nurcholis Madjid, modernisasi diartikan sebagai rasionalisasi bukan westernisasi yaitu proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak rasional dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang rasional. Jadi modernitas adalah rasionalitas.

B. Kecenderungan dan Ciri Dunia Modern

1. Kecenderungan Dunia Modern

Ada beberapa pandangan mengenai corak kehidupan di masa modern sekarang ini. Pertama, menurut Daniel Bell, kehidupan di masa sekarang dan mendatang akan ditandai oleh dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan untuk berintegrasi dalam kehidupan ekonomi, dan kecenderungan untuk berpecah belah (fragmentasi) dalam kehidupan politik. Dua kecenderungan ini sudah menjadi kenyataan di berbagai kawasan dunia ini.

Integrasi ekonomi telah terjadi di Eropa dalam bentuk European Union (EU), di Amerika Utara dalam bentuk NAFTA (North American Free Trade Area), di Asia dan Pasifik dalam bentuk APEC (Asia Pacific Economic Cooperation), dan Asia Tenggara dalam bentuk AFTA (Asean Free Trade Area). Dalam pada itu fragmentasi politik terjadi di mana-mana: di bekas negara Yugoslavia, di bekas wilayah Uni Soviet, di berbagai negara di Afrika. Fragmentasi di berbagai kawasan ini terjadi karena berbagai alasan. Kekuatan yang paling potensial untuk menimbulkan fragmentasi ini ialah etnisitas dan agama.

Corak kedua, ialah bahwa globalisasi akan mewarnai seluruh kehidupan di masa mendatang. Salah satu arti “globalisasi” ialah bahwa masalah-masalah tertentu seperti masalah pertumbuhan penduduk, masalah lingkungan, masalah kelaparan, masalah narkotika, masalah HAM-untuk menyebut beberapa contoh-dipandang sebagai persoalan-persoalan yang bersifat global dan menyangkut nasib seluruh umat manusia. Di dalam zaman globalisasi ini, tidak ada satu negara pun yang dapat bersembunyi dari sorotan dunia dan menutup diri terhadap kekuatan-kekuatan global yang terdapat di seluruh dunia.


Globalisasi adalah suatu proses yang berlangsung panjang dan bergerak maju secara dramatis dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Hal ini dimungkinkan oleh perkembangan yang pesat dalam teknologi, terutama teknologi komunikasi dan bertambahnya arus modal secara bebas. Globalisasi akan menjadikan berbagai bidang sebagai komoditas dan komersil, termasuk pendidikan. Globalisasi juga akan menciptakan kompetisi terbuka di segala bidang. Persoalannya adalah bagaimana meningkatkan daya saing kita agar tetap kompetitif.

Corak ketiga yang banyak pula dikemukakan orang ialah bahwa kemajuan sains dan teknologi yang terus melaju dengan cepatnya ini akan merubah secara radikal situasi dalam pasar tenaga kerja. Kemajuan teknologi menyebabkan pekerjaan-pekerjaan tertentu tidak diperlukan lagi, dan timbullah pekerjaan-pekerjaan baru yang menuntut kecakapan baru. Muncullah tuntutan untuk mampu menyesuaikan diri dengan teknologi baru. Akibat dari situasi semacam inilah maka “pendidikan ulang” (reeducation) atau “pelatihan ulang” (retraining) menjadi suatu keharusan untuk mempertahankan produktifitas dan untuk mengurangi pengangguran.
Kecenderungan keempat yang banyak disebut-sebut oleh para ahli ialah bahwa proses industrialisasi dalam ekonomi dunia menuju pada penggunaan teknologi tingkat tinggi. Alat-alat produksi dengan teknologi rendah akan “dieksport” dari negara-negara maju ke negara-negara yang ekonominya masih terbelakang. Negara-negara maju akan memusatkan kegiatan ekonomi mereka pada usaha-usaha yang menghasilkan nilai tambah yang cukup tinggi.


2. Ciri-ciri Masyarakat Modern

Menurut Ginanjar Kartasasmita, masyarakat modern selain memiliki ciri utama derajat rasionalitas yang tinggi, juga memiliki ciri-ciri lain yang berlaku umum yaitu :

a. Tindakan-tindakan sosial

Dalam masyarakat tradisional, tindakan-tindakan sosial (social action) lebih bersandar pada kebiasaan atau tradisi. Dalam masyarakat modern, tindakan-tindakan sosial akan lebih banyak bersifat pilihan. Oleh karena itu, salah satu ciri yang terpenting dari masyarakat modern adalah kemampuan dan hak masyarakat untuk mengembangkan pilihan-pilihan dan mengambil tindakan berdasarkan pilihannya sendiri.


b. Orientasi terhadap perubahan

Dalam masyarakat pramodern, perubahan berjalan lambat. Dalam masyarakat praagraris perubahan bahkan hampir tidak terjadi selama ribuan tahun. Makin maju masyarakat makin cepat perubahannya. Masyarakat modern adalah masyarakat yang senantiasa berubah cepat, bahkan perubahan itu melembaga. Seperti sering dikatakan “orang modern”: satu-satunya yang tidak berubah adalah perubahan itu sendiri. Perubahan ini merupakan ciri tetapi sekaligus masalah yang senantiasa dihadapi masyarakat modern, karena frekuensinya yang makin cepat, sehingga acapkali tidak bisa diikuti oleh seluruh lapisan masyarakat.

3. PENDIDIKAN ISLAM DALAM MENYIKAPI KEHIDUPAN DUNIA MODERN


A. Sikap kita terhadap modernitas

Modernitas sering dicurigai dan bahkan dimusuhi oleh kaum agamawan tradisional. Modernitas tidaklah identik dengan paham materialisme. Modernitas adalah kemajuan jaman sebagai berkah dari ilmu pengetahuan dan teknologi sedangkan materialisme adalah paham yang menganggap bahwa hanya materi yang eksis dan yang non-materi hanyalah ilusi para penganut agama (believers). Modernitas, meski dapat menumbuhkan paham materialisme, tidaklah bertentangan dengan paham keagamaan. Islam pada fitrahnya adalah agama yang universal sehingga dianggap mampu untuk mengikuti perkembangan jaman semodern apapun. Islam tidak menganggap haram materi ataupun kekayaan meskipun menolak paham materialisme yang beranggapan bahwa materilah yang paling penting dan menolak segala hal yang berbau spiritual, termasuk keberadaan Tuhan. Sebaliknya, Islam menyodorkan keseimbangan dalam memandang kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dan Tuhanlah asal segala sesuatu.

Dengan demikian mesti dipahami bahwa modernitas sebagai konsekuensi dari kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bukanlah ‘musuh’ dari paham ketuhanan ataupun agama yang perlu kita tentang atau jauhi. Perlu diakui bahwa beberapa aspek kehidupan gemerlap dari Barat, tidaklah semuanya buruk dan ‘sesat'. Tidak ada yang salah jika generasi muda menggunakan celana jeans, makan ‘fast food’ (lepas dari masalah kesehatannya), dan mendengarkan musik pop sepanjang mereka tetap berpegang teguh pada dasar-dasar keimanan tentang Allah dan perintah-perintahNya. Jika seorang remaja memiliki kesadaran dan pemahaman tentang aturan-aturan agama yang dianutnya maka ia akan lebih percaya diri dan mampu menghadapi kehidupan modern tanpa harus tercebur dan terseret oleh eksesnya yang berwujud paham materialisme. Seorang remaja yang agamis perlu memahami dan terbuka terhadap kesempatan dan tawaran dari dunia modern tapi tetap sadar akan pentingnya memegang integritas dan standar moral dari keyakinan agama yang dimilikinya.

Problema yang dihadapi manusia modern, menghendaki visi dan orientasi pendidikan yang tidak semata-mata menekankan pada pengisian otak tetapi juga pengisian jiwa, pembinaan akhlak dan kepatuhan dalam menjalankan ibadah. Yaitu suatu upaya yang mengintegrasikan berbagai pengetahuan yang terkotak-kotak kedalam ikatan tauhid, yaitu suatu keyakinan bahwa ilmu-ilmu yang dihasilkan lewat penalaran manusia itu harus dilihat sebagai bukti kasih sayang Tuhan kepada manusia, dan harus diabdikan untuk beribadah kepada Tuhan melalui karya manusia yang ikhlas.


B. Strategi Pembelajaran

ecara moral berbagai persoalan yang timbul sebagai akibat dari kemajuan, merupakan tanggung jawab kalangan dunia pendidikan, untuk mencari akar pemecahannya melalui strategi pembelajaran yang efektif dan efisien. Secara sosiologis ada beberapa strategi pembelajaran yang diperkirakan dapat mengatasi permasalahan tersebut di atas di antaranya kalangan dunia pendidikan perlu merumuskan visinya yang jelas terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran. Dunia pendidikan seharusnya melihat strategi belajar mengajar sebagai upaya yang bertujuan membantu para lulusan agar dapat melakukan fungsinya sebagai khalifah di muka bumi dalam rangka ibadah kepada Allah.

Jika visi tentang lulusan lembaga pendidikan tersebut disepakati, maka konsekuensinya perlu dirumuskan kembali mengenai konsep kurikulum yang lebih berorientasi pada konstruksi sosial, yaitu kurikulum yang dirancang dalam rangka melakukan perubahan sosial. Kurikulum semacam ini sifatnya dinamis, karena apa yang dirancang akan disesuaikan dengan tuntutan perubahan sosial. Tahap selanjutnya adalah mengembangkan paradigma pembelajaran student centered, sehingga siswa terlatih untuk bersikap kreatif, mandiri dan produktif. Sikap yang sangat dibutuhkan dalam menghadapi masyarakat yang maju. Kondisi semacam ini akan menciptakan masyarakat belajar (learning society).


C. Keterpaduan antara ilmu agama dan umum.

Keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu umum dan keterpaduan antara disiplin ilmu umum dan ilmu agama perlu dilakukan, tanpa mengorbankan spesialisasi yang menjadi ciri masyarakat modern. Dalam hal ini spesialisasi harus dilakukan dalam hubungannya dengan pembidangan yang secara teknis memang harus dilakukan mengingat tidak mungkin di masa sekarang ini setiap orang dapat menguasai keahlian dalam berbagai bidang disiplin ilmu. Namun spesialisasi itu harus ditempatkan dalam kerangka saling berhubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya. Pemikiran keterpaduan antara ilmu umum dan ilmu agama ini pada tahap selanjutnya membawa kepada timbulnya konsep islamisasi ilmu pengetahuan yang menjadi bahan diskusi yang sampai saat ini belum selesai.


D. Penerapan Akhlak tasawuf

Kehidupan modern yang materialistik dan hedonistik dengan segala akibatnya yang saat ini mulai melanda kalangan dunia pendidikan perlu diimbangi dengan penerapan akhlak tasawuf. Adanya pemalsuan ijazah oleh oknum kepala sekolah, diterimanya siswa yang NEMnya rendah dengan sarat ada uang pelicin, pemberian beban biasa kepada siswa yang tidak dibarengi dengan oeningkatan mutu pendidikan dan sebagainya adalah merupakan akibat arus globalisasi yang telah melanda dunia pendidikan. Jika dunia pendidikan saja sudah demikian keadaannya, maka lembaga mana lagi yang dapat dijadikan tempat menaruh harapan masa depan bangsa.

Keadaan dunia pendidikan seperti demikian itu, diperparah dengan beredarnya obat-obat terlarang di sekolah-sekolah. Berbagai tindakan yang paling aman dan gangpang bagi sekolah adalah mengeluarakan siswa yang jelas-jelas terlibat dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang itu. Perlu dipikirkan cara lain agar tidak mengorbankan pihak manapun.

Alternatif lain yang perlu dikembangkan dalam mengatasi masalah tersebut di atas adalah dengan mengamalkan ajaran akhlak tasawuf. Ajaran akhlak tasawuf perlu disuntikkan ke seluruh bidang studi yang diajarkan sekolah. Menurut Jalaludin Rakhmat, sekarang ini di seluruh dunia timbul kesadaran betapa pentingnya memperhatikan etika dalam pengembangan sains. Di beberapa negara maju telah didirikan “lembaga pengawal moral” untuk sains. Yang paling terkenal adalah the institute of society, ethic and life. Kini telah disadari bahwa sulit bagi ilmuwan eksperimental mengetahui apa yang tidak boleh diketahui. Ternyata sains tidak boleh dibiarkan lepas dari etika kalau tidak ingin senjata makan tuan.




PENUTUP

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa kehidupan dunia modern yang membawa pada era globalisasi, ternyata telah memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap dunia pendidikan. Berbagai aspek yang berkaitan dengan pendidikan, mulai dari materi, guru, metode, sarana dan prasarana, lingkungan dan pola hubungan antara guru dan murid perlu ditata ulang untuk disesuaikan dengan tuntutan zaman. Hal ini perlu dilakukan, jika dunia pendidikan ingin tetap bertahan secara fungsional dalam memandu perjalanan umat manusia. Dunia pendidikan di masa sekarang benar-benar dihadapkan pada tantangan yang berat yang penanganannya memerlukan keterlibatan berbagai pihak yang terkait.

Demikian makalah ini kami susun dengan segala keterbatasan yang ada. Untuk itu saran, masukan dan kritik yang membangun kami nantikan demi perbaikan makalah ini.




















DAFTAR PUSTAKA


Al-Syaibany, Omar Moh. Al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta: Bulan Bintang, 1979).

Arifin, H.M., Kapita Selekta Pendidikan (Islam dan Umum), (Jakarta: Bumi Aksara, 2000).
______________, Pendidikan Antisipatoris, (Yogyakarta: Kanisius, 2001).

Faisal, Jusuf Amir, Reorientasi Pendidikan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Harminto , HM., , Napza Pembunuh Berdarah dingin, dalam
http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/25/x_nas.html

Hidayat, Komarudin, Upaya pembebasan Manusia Tinjauan Sufistik terhadap Manusia Modern Menurut Nasr, dalam Dawam Rahardjo, (ed), Insan Kamil Konsepsi Manusia menurut Islam, (Jakarta: Grafiti Press, 1987).

Langgulung, Hasan, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1987)
Madjid, Nurcholis, Islam Agama Peradaban, (Jakarta:Paramadina, 1995)
________________, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1997).
Nasution, Harun, Islam Rasional, (Bandung: Mizan, 1997).


Nasution, S., Pengembangan Kurikulum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991)
Nata, Abuddin, Manajemen Pendidikan Mengatasi Kelemahan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media, 2003).


Noer, Deliar, Pembangunan di Indonesia (Jakarta: Mutiara, 1987), hal. 24.

Sayidiman Suryohadiprojo, Makna Modernitas dan Tantangannya terhadap Iman, dalam http://sayidiman.suryohadiprojo.com/?p=198

Shihab, Quraysh, Wawasan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996)
Soyomukti, Nurani, Pendidikan Berspektif Globalisasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2008).
Surya, H. Mohamad, Bunga Rampai Guru dan Pendidikan, (Jakarta: Balai Pustaka, 2004).
Wijaya, Cece, et.al., Upaya Pembaharuan dalam Pendidikan dan Pengajaran, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 1992).