Perlunya Pembuktian Penyimpangan dalam Al-Qur'an
Dengan maksud hendak membuktikan moralitas dan superioritas teologi Barat, Bergtrasser, Jeffery, Mingana, Pretzl, Tisdal dan banyak lagi lainnya, telah mencurahkan seluruh kehidupannya guna menyingkap perubahan teks Al-Qur'an yang, katanya, tidak mereka dapatkan dalam kajian kitab Injil. Seperti tampak dalam bab sebelumnya, banyak sekali perbedaan yang memenuhi halaman-halaman dalam Kitab Injil, "Cette masse enorme depasse ce dont on dispose pour n'import quel texte antique; elle a fourni quelque 200,000 variantes. La plupart sont des variants insignifiantes... Deja Wescott et Hort, en donnant ce chiffre, constataient que les sept 6uitieme du texte etaient assures... Il y en a pourtant".1 Jika lihat secara keseluruhan, tampak melemahkan isu-isu penting dalam teologi dan menimbulkan keprihatinan mengenai adanya cerita-cerita palsu yang disisipkan ke dalam teks melalui pengaruh masyarakat umum. Sementara desakan untuk membuktikan keadaan yang sama terhadap Al-Qur'an mulai menggejala semenjak beberapa tahun lalu disebabkan oleh perubahan peta politik Timur Tengah, namun upaya-upaya dalam bidang ini kebanyakan telah dimulai lebih awal dari perhatian mereka. Di antara karya-karya sebagaimana sejarah telah mencatat:
-
A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans, Possibly Pre-'Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge, 1914;
-
G. Bergtrasser, "Plan eines Apparatus Criticus zum Koran", Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7;
-
O. Pretzl, "Die Fortfuhrung des Apparatus ('riticus zum Koran", Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan
-
A. Jeffery, The Qur'an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New York, 1952.
Jeffery barangkali yang paling banyak menguras tenaga dalam masalah ini.
2. Kritikan Orientalis Terhadap Kompilasi AI-Qur'an
Tampaknya terdapat beberapa pintu gerbang yang digunakan sebagai alat penyerang terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah menghujat tentang penulisan serta kompilasinya.2 Dengan semangat ini pihak Orientalis mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur'an sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad `Umar merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah, memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran kematian mereka.3 Lebih jauh lagi, mengapa bahanbahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah pemeliharaan Nabi Muhammad sendiri? Jika demikian halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.
Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul), atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka. Katakanlah terdapat satu naskah Al-Qur'an milik Nabi Muhammad mengapa beliau lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh, munculnya wahyu baru, ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan tecermin dalam naskah di kemudian hari. Dalam masa[ah ini, beliau akan membuat informasi keliru dan melakukan sesuatu yang merugikan umatnya; kerugian yang ada dirasa lebih besar dari manfaatnya. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Sebelumnya, telah saya kemukakan bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid mesli bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan nilai teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin Thabit. Dalam mendikte ayat-ayat Al-Qur'an kepada para Sahabat, Nabi Muhamtnad , melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang lebih tepercaya didasarkan pada hubungan antara guru dengan murid; sebaliknya, karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang lain.4
Tetapi jika keseluruhan Al-Qur'an telah direkam melalui tulisan semasa kehidupan Nabi Muhammad dan disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar takut kehilangan Al-Qur' an karena syahidnya para huffaz? Hal ini, sekali lagi, menyangkut tentang hukum persaksian.
Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur'an mela]ui satu-satunya otoritas yang saling beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi Muhammad Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi sumber otoritas yang juga saling beruntun; kematian mereka hampir-hampir telah mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad , yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi otoritas kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat ayat-ayatnya menggunakan tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali, karena pemiliknya sudah masuk ke liang lahat dan tidak dapat memberi pengesahan tentang kebenarannya. Kendati mungkin terdapat secercah bahan tulisan yang secara tak sengaja persis sama dengan Al-Qur'an seperti yang dihafal oleh yang lain, selama masih terdapat saksi utama yang sesuai, ia akan menjadi paling tinggi, menempati urutan ke tiga dari dokumen yang sah. Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad (kita temukan hukum kesaksian ini juga dihidupkan kembali di zaman pemerintahan `Uthman). Ayat-ayat yang telah ditulis tetap terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah Yamamah itu mengisap darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas saksi yang merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen, yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.
3. Perubahan Istilah Islam pada Pemakaian Ungkapan Asing
Pintu gerbang kedua masuknya serangan terhadap Al-Qur'an adalah melalui perubahan besar-besaran studi keislaman menggunakan peristilahan orang Barat. Dalam karyanya Introduction to Islamic Law, Schacht membagi fiqih Islam kepada judul judul berikut: orang (persons), harta (property), kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak khusus (obligations and contracts in particular), dan lain-lain.5 Susunan seperti ini sengaja diperkenalkan hendak mengubah hukum Islam pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topic bahasan serta pembagiannya yang digunakan dalam sistem perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap Al-Qur'an dengan membagi Quranic Studies menurut ketentuan berikut: Prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis) (1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4) Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol perumpamaan (Rhetoric and allegory).6
Tafsir-tafsir seperti ini menghabiskan lebih dari separuh buku yang ditulis di mana jika saya bertanya pada para ilmuwan Muslim baik dari Timur mau pun yang berlatar belakang pendidikan Barat, tak akan mampu memahami semua daftar isi buku tersebut. Barangkali hanya seorang pendeta Yahudi yang dapat menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama, namun hal ini akan sama nilainya seperti seorang pendeta memaksakan baju tradisi mereka pada seorang sheikh. Mengapa mereka begitu bergairah mengubah istilah Islam, di mana tujuannya tak lain hendak memaksakan sesuatu yang di luar jangkauan bidang para ilmuwan Muslim, guna menunjukkan bahwa hukum mereka bersumber dari Yahudi dan Kristen?
4. Tuduhan Orientalis terhadap Penyesusian
Hal ini akan menggiring memasuki pintu gerbang ketiga dalam menyerang terhadap Al-Qur'an: perulangan tuduhan yang ditujukan kepada Islam hanya merupakan pemalsuan terhadap agama Yahudi dan Kristen, atau bagian dari sikap curang dalam memanfaatkan literatur Kitab Suci untuk kepentingan sendiri. Wanshrough, sebagai seorang penggagas tak tergoyahkan dalarn pemikiran ini tetap ngotot, misalnya, ia menyatakan, "Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan ketokohan Muhammad, dihangun di atas prototype kependetaan agama Yahudi."7 Disini, kita hendak rnengkaji rasa sentimen ke dua orang ilmuwan tersebut yang menulis menggunakan alur pemikiran yang senada.
i. Tuduhan dan Penyesuaian Kata yang Merusakkan
Dalam satu artikel Encyclopedia Britannica (1891) Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan banyak kekeliruan di dalam Al-Qur'an karena, katanya, "kejahilan Muhammad" tentang sejarah awal agama Yahudi - kecerobohan nama-nama dan perincian yang lain yang la curi dari sumber-sumber Yahudi.8 Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:
[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus) untuk menteri Fir'aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih.... [Dan] dalam kebodohannya tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri Mesir-di mana hujan hampir-hampir tidak pernah kelihatan dan tidak pernah hilang-karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).9
Ini merupakan satu upaya yang menyedihkan hendak mengubah wajah Islam menggunakan istilah orang lain, siapa orangnya yang menyebut bahwa Fir'aun tidak memiliki seorang menteri yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang terdahulu? Dalam kebohongannya Noldeke tidak malu menunjuk bahwa Al-Qur'an menyebut Maryam (Ibu alMasih) sebagai "saudara perempuan Harun",10 bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan orang-orang bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth, saudara sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga pendeta, lantaran itu merupakan "anak-anak perempuan Harun."11 Dengan kepanjangan itu, kita dapat secara meyakinkan mengatakan baik Maryam atau Elizabeth sebagai "saudara-saudara perempuan Harun" atau "anak-anak perempuan `Imran" (ayah Harun).12
Apakah tuduhan Noldeke mengenai kesuburan negeri Mesir? Membanjirnya Sungai Nil adalah karena di sebagian daerah, sumber utama, karena adanya perbedaan curah hujan, seperti telah dibuktikan para pakar lingkungan, namun demikian mari kita singkirkan terlebih dulu akan hal ini dan lihatlah ayat 12: 49 yang mengatakan:
|
Saya serahkan kepada para pembaca meneliti sendiri ada atau tidaknya penyebutan kata hujan pada ayat itu, sebenarnya tuduhan seperti itu muncul dari kekalutan pikiran Noldeke terhadap kata benda "hujan" dan "pengucapannya".
ii. Sebuah Injil Palsu
Ini satu tuduhan lagi yang dialamatkan terhadap Al-Qur'an oleh Hirschfeld.13 Jika kata Injil ditujukan pada Perjanjian Baru, mari kita ingat kembali dua doktrin utama dalam agama Kristen: Dosa Warisan dan Penebusannya. Yang pertama adalah warisan otomatis yang ada pada setiap insan, karena mereka keturunan Adam, sedang yang ke dua karena terbentuknya kepercayaan bahwa Tuhan telah mengorbankan satu-satunya Anak yang lahir ke dunia sebagai penghapus dosa. Tetapi Al-Qur'an dengan tegas menolak kedua-duanya:
|
"Dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain."15
Trinitas dan penyelamatan melalui al-Masih, sebagai esensi ajaran Kristen, tidak diberi peluang sama sekali dalam Al-Qur'an, sementara ceritacerita Injil yang ada tidak lebih dari sekadar masalah kesejarahan, bukan keyakinan ideologi.
"Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak seorang pun yang setara dengan Dia. "16
Jadi, sebenarnya di manakah asal usul pemalsuan itu? Adapun mengenai penyesuaian dari Perjanjian Lama (sebagaimana dituduhkan oleh Wansbrough, Noldeke, dan lainnya), apa perlunya Nabi Muhammad mengungkapkan satu Kitab Suci yang menggambarkan Yahweh sebagai Tuhan yang bersifat kesukuan, bahkan tidak dihubungkan dengan kaum Samaritan dan kaum Edomit, tetapi semata-mata pada Bani Israel? Sejak awal pembukaan kitab, kita dapati Al-Qur'an mengatakan:
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. "17
Ini merupakan sebutan universal sifat Allah, yang melintasi batas kesukuan dan bangsa berlandaskan pada ketentuan keimanan. Seseorang tentunya tidak akan dapat menempel buah mangga yang gemuk atau subur pada satu cabang berduri dari sebatang pohon kaktus yang rapuh.